Tafsir Surat An Nisa : 59 ( Pilar Pemerintahan Islam )
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik
akibatnya. (
QS. An-nisa [4]: 59)
Tafsir Surat An Nisaa : 59
Sabab an-Nuzûl
Diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi dalam
Ad-Dalâil
dari jalur Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ’Adi, ketika dia
diutus Rasulullah saw. dalam sebuah
sariyah (perang).1
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman:
Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû athî‘û Allâh wa athî’û ar-Rasûl wa ulî al-amri minkum. Khithâb ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum Mukmin.
Pertama: perintah untuk menaati Allah Swt., yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.2 Kata
ath-thâ’ah berarti
al-inqiyâd (ketundukan).3 Maksud menaati Allah Swt. di sini adalah mengikuti al-Quran.
Kedua: perintah menaati Rasulullah saw. Rasulullah saw.
diutus dengan membawa risalah dari Allah Swt. yang wajib di taati.
Karena itu, menaati Rasulullah saw. sama dengan menaati Zat Yang
mengutusnya, Allah Swt. (lihat QS an-Nisa’ [4]: 64, 80).
Kendati menaati Rasulullah saw. paralel dengan menaati Allah Swt.,
dalam ayat ini kedua-duanya disebutkan. Hal itu menunjukkan perbedaan
obyek yang ditunjuk. Menaati Allah Swt. menunjuk pada Kitabullah;
menaati Rasulullah saw. menunjuk pada as-Sunnah. Keduanya—meskipun
sama-sama wahyu dari Allah Swt. yang wajib ditaati—berbeda. Al-Quran
lafalnya dari Allah Swt.; as-Sunnah lafalnya dari Rasulullah saw.
sendiri.
Ketiga: perintah menaati ulil amri. Para mufassir berbeda
pendapat mengenai makna istilah tersebut. Oleh sebagian mufassir, ulil
amri dimaknai sebagai
ulamâ’. Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas
dalam suatu riwayat, al-Hasan, Atha’ dan Mujahid termasuk yang
berpendapat demikian. Mereka menyatakan, ulil amri adalah ahli fikih dan
ilmu.4
Pendapat lain menyatakan, ulil amri adalah
umarâ’ atau
khulafâ’.
Menurut Ibnu ’Athiyah dan al-Qurthubi, ini merupakan pendapat jumhur
ulama.5 Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas dalam
suatu riwayat, Abu Hurairah, as-Sudi, dan Ibnu Zaid;6 juga ath-Thabari,
al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, al-Alusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, dan
al-Ajili.7
Said Hawa juga menyatakan, ulil amri adalah
khalifah; yang kepemimpinannya terpancar dari syura kaum Muslim;
urgensinya untuk menegakkan al-Kitab dan as-Sunnah. Kaum Muslim wajib
menaatinya beserta para amilnya dalam hal yang makruf.8
Tampaknya pendapat jumhur lebih dapat diterima. Dari segi sabab
nuzulnya, ayat ini turun berkenaan dengan komandan pasukan. Ini berarti,
topik yang menjadi obyek pembahasan ayat ini tidak terlepas dari
masalah kepemimpinan. Telah maklum, pemimpin tertinggi kaum Muslim
adalah khalifah. Dialah Amirul Mukminin yang memiliki kewenangan untuk
mengangkat para pemimpin di bawahnya, termasuk panglima perang dan
komandan pasukan.
Alasan lainnya, banyak hadis Nabi saw. yang mewajibkan kaum Muslim
menaati khalifah atau pemimpin. Di antaranya adalah sabda Rasulullah
saw.:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ
Mendengar dan menaati seorang (pemimpin) yang Muslim adalah
wajib, baik dalam perkara yang disenangi atau dibenci, selama tidak
diperintahkan untuk maksiat. (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar ra).
Keterkaitan antara ketiganya (Allah Swt., Rasulullah saw, dan umara) juga disebutkan dalam hadis Nabi saw. berikut:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعِ اللهَ، وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، مَنْ أَطَاعَ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي،
وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
Siapa saja yang menaatiku, sesungguhnya dia telah menaati Allah.
Siapa saja yang bermaksiat kepadaku, sesungguhnya dia telah bermaksiat
kepada Allah. Siapa saja yang menaati pemimpin, sesungguhnya dia telah
menaatiku. Siapa saja yang bermaksiat kepada pemimpin, sesungguhnya dia
telah bermaksiat kepadaku. (HR Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah).
Nash-nash di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim diwajibkan untuk
menaati pemimpinnya. Hanya saja, sebagaimana ditegaskan dalam hadis di
atas, perkara yang diperintahkan oleh pemimpin itu tidak boleh melanggar
syariah. Jika melanggar syariah maka tidak boleh ditaati. Rasulullah
saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (HR Ahmad dari Ali ra).
Menurut as-Sa‘di, bisa jadi inilah rahasia dihilangkannya frasa
athî’û pada
perintah untuk menaati ulil amri dan disebutkannya kata tersebut pada
perintah untuk menaati Rasul. Artinya, Rasulullah saw. tidak
memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah. Karena itu, siapa saja yang
menaati Beliau berarti sama dengan menaati Allah Swt. Adapun kepada
ulil amri, perintah taat itu disyaratkan tidak dalam perkara maksiat.9
Wajibnya menaati ulil amri ini juga menunjukkan hukum tentang
kewajiban mewujudkannya. Sebab, tidak mungkin Allah Swt. mewajibkan kaum
Muslim untuk menaati seseorang yang tidak ada
wujudnya.10
Kata
minkum memberikan batasan bahwa ulil amri itu harus
min al-Muslimîn (dari kalangan Muslim). Jika bukan Muslim maka tidak ada hak wilayah baginya atas Muslim dan tidak ada ketaaan
kepadanya.11
Ayat ini juga bisa menjadi dalil bahwa khalifah haruslah seorang
Muslim. Kesimpulan itu makin kukuh tatkala dalam al-Quran tidak didapati
kata
ulil amri kecuali disertai dengan penjelasan bahwa mereka dari kalangan kaum
Muslim.12
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
fa in tanâza‘tum fî syay’[in] faruddûhu ilâ Allâh wa ar-Rasûl. Kata
tanâzu‘ berarti mencabut hujjah lawannya dan
menyikirkannya.13 Kata ini untuk menggambarkan adanya perselisihan dan perdebatan yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kata
syay’[in] (sesuatu)
meliputi semua urusan, baik urusan
ad-dîn maupun
dunia. Namun, ketika dilanjutkan,
faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl, maka kalimat itu menjelaskan bahwa sesuatu yang diperselisihkan itu adalah urusan
ad-dîn.14
Kata
tanâza’tum berarti kalian berselisih, baik yang terjadi di antara kalian atau antara kalian dengan umara
kalian.15
Jika hal itu terjadi, mereka diperintahkan mengembalikan perkara yang
mereka perselisihkan itu kepada Allah dan Rasul, yakni pada al-Kitab dan
as-Sunnah. Demikian penafsiran para mufassir, seperti Mujahid, Qatadah,
Maimun bin Mahran, dan as-Sudi;16 juga an-Nasafi, Ibnu Katsir,
al-Khazin, asy-Syaukani, Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Wahidi, al-Jazairi,
as-Samarqandi, dan al-Sa’
di.17
Kemudian Allah Swt. berfirman:
in kuntum tu’minûna bi Allâh wa al-yawmi al-âkhir. Mengomentari kalimat ini, as-Sa’di berkata,
“Hal
itu menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan masalah yang
diperselisishkan kepada keduanya (al-Quran dan as-Sunnah) pada
hakikatnya bukanlah seorang Mukmin, namun beriman kepada thâghût,
sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya.”18
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu
Katsir.19
Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya:
Dzâlika khayru wa ahsanu ta’wîl[an]. Kata
Dzâlika menunjuk pada tindakan mengembalikan perkara pada al-Kitab dan
as-Sunnah.20 Qatadah menyatakan, maksud farasa ini adalah:
ahsanu tsawâb[an] wa khayru âqibat[an] (sebaik-baik pahala dan seutama-utama akibat).21
Kontradiksi dengan Demokrasi
Sebagaimana telah dijelaskan, ayat ini menjadi dalil bagi kewajiban
untuk mengangkat ulil amri atau pemimpin yang berwenang mengatur urusan
kaum Muslim. Ayat ini juga memberikan penjelasan mengenai pilar-pilar
pemerintahan Islam. Berkenaan dengan masalah kedaulatan, ayat ini
memberikan konsep amat jelas, bahwa kedaulatan dalam pemerintahan Islam
(yang dikenal dengan sebutan Khilafah) ada di tangan syariah. Di antara
beberapa buktinya adalah:
Pertama, perintah untuk menaati Allah Swt. dan Rasulullah
saw, yakni tunduk dan patuh pada segala ketentuan dalam al-Quran dan
as-Sunnah. Ketetapan ini meniscayakan, semua hukum dan undang-undang
yang diberlakukan wajib bersumber dari keduanya. Memang benar, selain
diperintahkan taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, kaum Muslim juga
diperintahkan taat kepada uli al-amri. Namun, ketaatan itu bukan tanpa
batasan sama sekali. Kewajiban taat itu berlaku jika perkara yang
diperintahkan ulil amri bersesuaian dengan hukum syariah. Jika perkara
yang diperintahkan menabrak syariah, kaum Muslim tidak boleh taat.
Lebih dari itu, ulil amri juga menjadi pihak yang wajib tunduk pada
syariah. Sebab, mereka termasuk yang diseru ayat ini. Ungkapan
minkum pada kata
wa ulî al-amri minkum menunjukkan bahwa mereka juga termasuk dalam bagian
al-ladzîna âmanû. Karena
itu, mereka pun wajib menaati Allah Swt. Bahkan kedudukan mereka
sebagai ulil amri adalah dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah
Swt. dan Rasul-Nya (syariah).
Kedua, ayat ini menetapkan, setiap perselisihan yang terjadi wajib dikembalikan pada syariah. Firman Allah Swt.,
Fa in tanâza’tum fî syay’[in] faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl, jelas menunjukkan makna demikian.
Bertolak dari dua bukti di atas, jelaslah bahwa kedaulatan dalam pemeritahan Islam ada di tangan syariah.
Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan konsep demokrasi. Dalam
demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Sebagai pemilik
kedaulatan, semua kehendak rakyat harus dipatuhi. Konsekuensinya,
rakyatlah yang memiliki hak menentukan perjalanan hidup masyarakat.
Rakyat pula yang menentukan sistem, hukum, dan konstitusi yang cocok
bagi mereka, tidak peduli apakah undang-undang itu sejalan dengan
syariah atau berlawanan dengannya. Sebagaimana rakyat berhak membuat dan
menetapkan sebuah undang-undang, rakyat juga berhak membatalkan,
mengganti atau mengubah undang-undang tersebut. Singkatnya, apa pun yang
menjadi kehendak rakyat harus terjadi.
Dalam demokrasi, solusi akhir ketika terjadi perselisihan adalah
suara terbanyak. Karena rakyat merupakan sekumpulan orang, sementara
kehendak mereka bisa berseberangan satu sama lainnya, maka yang
dijadikan sebagai kata pemutus adalah kehendak mayoritas. Ide, aspirasi,
atau kebijakan apa pun yang mendapatkan dukungan suara terbanyak harus
diterima sebagai keputusan terakhir yang ditaati oleh semua pihak; tidak
peduli apakah keputusan tersebut benar atau salah; sejalan atau
bertabrakan dengan hukum Allah Swt.
Wajar saja demokrasi bertentangan dengan Islam. Demokrasi tidak
berakar dari Islam, namun lahir dari ideologi sekular yang kufur.
0 Komentar